BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Organisasi
Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat yang besar di Indonesia,
yang berdampingan dengan organisasi lainnya, seperti Nahdatul Ulama (NU).
Besarnya organisasi ini ditandai dengan berbagai kiprahnya yang sukses dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat Islam Indonesia, antara lain: Muhammadiyah
kini telah memiliki ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, serta rumah sakit
ataupun klinik yang tidak sedikit jumlahnya. Sementara dalam kehidupan masyarakat
secara langsung, Muhammadiyah telah dinilai mampu mengantarkan warganya menjadi
muslim modernis yang siap mengantisipasi masa depan. Pada bidang sosial
politik, Muhammadiyah telah mampu menempatkan diri dalam kedudukan sejajar
dalam soal tawar-menawar dengan pemerintah, sehingga Muhammadiyah hingga saat
ini cukup aman dari konflik kepentingan pemerintah.
Keputusan
Muktamar ke-44 bulan Juli 2002 yang lalu Muhammadiyah melepaskan azas pancasila
dan kembali kepada azas Islam, merupakan sebuah kepeloporan dan tindak lanjut
dari sosial tawar-menawar di atas. Memang berbicara soal masalah pemikiran dan
gerakan politik Muhammadiyah dari masa ke masa selalu menjadi nomor satu dalam
memperjuangkan amar makruf nahi munkar sebagai landasan berpikir berdirinya organisasi
Islam yang pertama di
Indonesia pada tahun 1912 yang lalu.
Selain itu Muhammaiyah sebagai sebuah organisasi Islam yang tidak mempunyai kepentingan dengan “aspiring for power”, apakah itu untuk meduduki jabatan dalam bidang eksekutif ataupun dalam bidang legislatif, ia tidak mengarahkan gerakan politiknya kearah itu, namun bila ada warga Muhammadiyah yang menghendakinya, hal itu merupakan usaha pribadinya. Akan tetapi Muhammadiyah mempunyai kepentingan yang sangat besar untuk memantau lajunya pemerintahan, memperhatikan nilai-nilai moral pada pemimpin yang memegang amanah dan jabatannya.2 Makalah yang sederhana ini akan memaparkan secara singkat pemikiran dan gerakan Muhammadiyah dalam perpolitikan umat Islam khususnya di Indonesia.
Selain itu Muhammaiyah sebagai sebuah organisasi Islam yang tidak mempunyai kepentingan dengan “aspiring for power”, apakah itu untuk meduduki jabatan dalam bidang eksekutif ataupun dalam bidang legislatif, ia tidak mengarahkan gerakan politiknya kearah itu, namun bila ada warga Muhammadiyah yang menghendakinya, hal itu merupakan usaha pribadinya. Akan tetapi Muhammadiyah mempunyai kepentingan yang sangat besar untuk memantau lajunya pemerintahan, memperhatikan nilai-nilai moral pada pemimpin yang memegang amanah dan jabatannya.2 Makalah yang sederhana ini akan memaparkan secara singkat pemikiran dan gerakan Muhammadiyah dalam perpolitikan umat Islam khususnya di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
sejarah singkat Muhammadiyah?
2.
Bagaimana
pokok- pokok dan aktualisasi pemikiran KH Ahmad Dahlan?
3.
Bagaimana
pemikiran dan gerakan politik Muhammadiyah?
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Mengetahui sejarah singkat Muhammadiyah.
2. Mengetahui pokok-pokok dan aktualisasi pemikiran KH
Ahmad Dahlan.
3. Mengetahui pemikiran dan gerakan politik Muhammadiyah
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah
Singkat Muhammadiyah
Perkembangan
dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk
melawan dominasi Barat setelah sebagaian besar negara yang penduduknya beraga
Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan
kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat
sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha
untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi ajaran Islam, akidah,
maupun pemikiran pada sebagaian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh
dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada
dalam masyarakat Muslim itu sendiri. Dalam kehidupan beragama ini terjadi
kemerosotan ruhul ishmi, jika di lihat dari ajaran Islam, yang bersumber pada
Qur’an dan sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid’ah,
khurafat dan syi’ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh
otoritas madzhab dan taqlid pada ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi.
Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur’an yang menjadi sumber ajaran
hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan tarjamah dan tafsir hanya bole h
dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang
bersumber pada masalah khilafiyah dan furu’iyah sering muncul dalam masyarakat
Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifatlaten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. L Jamaluddin Al-Afghani banyak bergerak dalam bidang politik, yang di arahkan kepada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat. Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid’ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam.3 Retrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdul Wahab dalam gerakan Al-Muwahhidin telah mendapat dukungan politisdari penguasa Arab Saudi sehingga geakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.
Interaksi regular antara kelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebaba itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertalian seperti pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antar kelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai “kaum tua” berhadapan dengan “kaum muda” atau antara kelompok “pembaharuan” berhadapan dengan “antipembaharuan”.
Pemerinyah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan . selain itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh misi Khatolik maupun Zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh misi Zending sebagai pendudkung utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. L Jamaluddin Al-Afghani banyak bergerak dalam bidang politik, yang di arahkan kepada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat. Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik, bid’ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam.3 Retrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam. Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdul Wahab dalam gerakan Al-Muwahhidin telah mendapat dukungan politisdari penguasa Arab Saudi sehingga geakan yang dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.
Interaksi regular antara kelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebaba itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertalian seperti pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antar kelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang dikenal sebagai “kaum tua” berhadapan dengan “kaum muda” atau antara kelompok “pembaharuan” berhadapan dengan “antipembaharuan”.
Pemerinyah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan . selain itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh misi Khatolik maupun Zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh misi Zending sebagai pendudkung utama dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Secara singkat lahirnya gerakan Muhammadiyah disebabkan dua faktor, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yaitu; pertama, kehidupan beragama tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, karena merajalelanya perbuatan syirik, bid’ah dan khurafat yang menyebabkan umat Islam menjadi beku; kedua, keadaan bangsa Indonesia dan umat Islam yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan, kekolotan dan keunduran:; ketiga, tidak terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah dan tidak adanya organisasi Islam yang kuat; keempat, lembaga pendidikan Islam tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik, dan sistem pesantren yang sudah sangat kuno. Sedangkan faktor ekstern terdiri dari: pertama, adanya penjajahan Belanda di Indonesia:; kedua, kegiatan dan kemajuan yang dicapai oleh golongan Kristen Katolik di Indonesia; ketiga, sikap sebagai intelektual Indonesia yang memandang Islam sebagai agama yang telah ketinggalan zaman; keempat, adanya rencana politik kristenisasi dari pemerintah Belanda, demi kepentingan politik kolonialnya.
Di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai seorang yang peduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat Islam secara khusus. Pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/ 18 Nopember 1912 M di Yogyakarta ia mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi yang menghembuskan jiwa pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bergerak di berbagai bidang kehidupan umat.
Nama Muhammadiyah berasal dari kata Muhammad yaitu
nama Rasulullah Saw, dan diberi tambahan ya nisbah dan ta marbuthah yang
berarti pengikut Nabi Muhammad Saw. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil
Muktamar ke-41 di Surakarta. Bab 1 pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah
gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar yang berakidah Islam dan
bersumber pada ajaran Al-Quran dan Sunnah.
2.2. Pokok-Pokok
Dan Aktualisasi Pemikiran KH Ahmad Dahlan
a. Pembaharuan Lewat Politik
Tahun 1922 Kiai
membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di
seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai
pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini
diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda
pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan
Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai
Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada
kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909,
Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah
semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan
Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang
pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah
dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917
diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain
Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres
Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan
tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya
PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu
memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Untuk
mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan
menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi anggotanya
pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta
menjadi anggota.
Rupannya dengan
masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas dakwahnya semakin
meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan modernis dan
perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak, yang
akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan
bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
b. Pembaharuan
Lewat Pendidikan
Usahanya
`memberi warna” pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler, tidaklah
sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk
mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung.
Hal itu
dimaksudkan untuk menghindari kelemahan pesantren yang biasanya ikut mati jika
kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang
tamu rumahnya sendiri ukuran 2,5 x 6 M di Kauman.
Madrasah tersebut merupakan
sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri yang
dilengkapi dengan perlengkapan belajar mengajar modern seperti; bangku, papan
tulis, kursi (dingklik; kursi berkaki empat dari kayu dengan tempat duduk
panjang), dan sistem pengajaran secara klasikal.
Di sinilah
Ahmad Dahlan menerapkan Al Qur’an surah 96 ayat 1 yang memberi penekanan arti
pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
Ahmad Dahlan berfikir dengan pendidikan buta huruf diberantas. Apabila umat
Islam tidak lagi buta huruf, maka mereka akan mudah menerima informasi lewat
tulisan mengenai agamanya.
c. Pembaharuan
Pemikiran Budaya
Ketika Grebeg
Hari Raya dalam tradisi Kraton Yogyakarta jatuh sehari sesudah hari raya Islam,
Kiai meminta menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Tengah malam, diantar
Kanjeng Kiai Penghulu, Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruang tanpa
lampu. Setelah Dahlan menyampaikan usul agar Grebeg diundur sehari, Raja
bersabda bahwa Grebeg dilaksanakan sesuai dengan tradisi Jawa, Dahlan
dipersilakan menyelenggarakan shalat Hari Raya sehari lebih dahulu.
Hubungan
harmonis Dahlan dan pusat kekuasaan Jawa cukup unik dan menarik dikaji ketika
kerajaan dipandang sebagai pusat tradisi Kejawen yang penuh mistik. Kelahiran
Muhammadiyah sendiri berkait dengan kebijakan Hamengku Buwono VII dan VIII.
Kepergian Dahlan naik haji dan bermukim di Mekkah adalah perintah langsung Sri
Sultan Hamengko Buwono VII. Raja memandang penting Raden Ngabei Ngabdul Darwis
(nama kecil Ahmad Dahlan) belajar Islam dari asal kelahirannya. Sepulang haji,
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memerintahkan Dahlan bergabung dalam Boedi
Oetomo. Reformasi Islam pun mulai berlangsung dari sini.
d. Pembaharuan
Pemikiran Ekonomi
Jiwa ekonomi
terlihat dari profil kehidupan KH. Ahmad Dahlan yang bekerja sebagai pedagang
batik (bussinessman) di samping kegiatan sehari-harinya sebagai guru mengaji
dan khatib. KH. Ahmad Dahlan sering melakukan perjalan-an ke berbagai kota
untuk berdagang. Dalam perjalanan bisnisnya, KH. Ahmad Dahlan selalu membawa
misi dakwah Islamiyah.
Pada tahun
1921, Muhammadiyah memprogramkan perbaikan ekonomi rakyat, salah satunya adalah
dengan membentuk komisi penyaluran tenaga kerja pada tahun 1930. Pada
perkembangan selanjutnya, tahun 1959 mulai dibentuk jama’ah Muhammadiyah di
setiap cabang dan terbentuknya dana dakwah. Program-program ekonomi yang
dirancang ternyata menjadi dorongan untuk terbentuknya Majelis Ekonomi
Muhammadiyah.
Namun,
sebagaimana diungkap Mu’arif (2005:223), dalam persoalan ekonomi ini,
Persyarikatan Muhammadiyah mengalami posisi dilematis. Di satu sisi, visi
ekonomi ketika hendak membangun perekonomian yang tangguh haruslah didasarkan
pada profesionalisme. Adapun untuk mengantarkannya pada profesionalisme itu
biasanya menggunakan cara yang mengarah pada dunia bisnis kapitalis. Hal ini
tentunya bertolak belakang dengan visi kerakyatan yang pada awal berdirinya
persyari-katan menjadi agenda utama.
2.3. Pemikiran Dan Gerakan Politik Muhammadiyah.
Sebagai gerakan Islam modern Muhammadiyah
mendasarkan programnya untuk: membersihkan Islam dari pengaruh ajaran yang
salah, memperbaharui sistem pendidikan Islam, dan memperbaiki kondisi sosial
kaum muslimin Indonesia. Diantara program-program ini, maka pendidikan
merupakan aspek yang sangat menonjol dari pembaharuan yang dilakukan
Muhammadiyah. Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, maka ide pembaharuan
Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi
dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini
usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah banyak terkait dengan masalah-masalah
praktis ubudiyah dan muamalah.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak
di bidang penddikan dan sosial keagamaan tidak banyak berbicara perpolitikan
apalagi berkecimpung dalam politik praktis secara langsung.8 Namun sebagai
sebuah organisasi yang besar dengan puluhan juta umatnya, Muhammadiyah tidak
akan terlepas dari urusan politik. Pertanyaannya adalah politik seperti apa
yang dipernkan Muhammadiyah? Tentu saja Muhammadiyah tidak akan mungkin memainkan
peranan sebagai sebuah partai politik yang mempunyai tempat untuk berpolitik di
parlemen, akan tetapi Muhammadiyah bisa saja mempengaruhi parlemen (DPR) untuk
supaya aspirasi Muhammadiyah dapat dipenuhi, katakanlah dengan cara menghadiri
“hearing” yang diselenggarakan oleh salah satu komisi di DPR.
Selanjutnya Amin Rais dengan high politics-nya mengungkapkan bahwa bila sebuah organisasi menunjukkan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat yang luas untuk memerangi ketidakadilan, menghimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan proses demokratisasi dan keterbukaan, maka organisasi itu sedang memainkan high politics. Sebaliknya, bila sebuah organisasi melakukan gerakan dan manuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian di lembaga eksekutif, membuat kelompok penekanan, membangun lobi serta berkasak kusuk untuk mempertahankan dan memperluas vested interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politics. Dan dalam konteks seperti itulah Muhammadiyah tidak akan ikut bermain politik praktis.
Selanjutnya Amin Rais dengan high politics-nya mengungkapkan bahwa bila sebuah organisasi menunjukkan sikap yang tegas terhadap korupsi, mengajak masyarakat yang luas untuk memerangi ketidakadilan, menghimbau pemerintah untuk terus menggelindingkan proses demokratisasi dan keterbukaan, maka organisasi itu sedang memainkan high politics. Sebaliknya, bila sebuah organisasi melakukan gerakan dan manuver politik untuk memperebutkan kursi DPR, minta bagian di lembaga eksekutif, membuat kelompok penekanan, membangun lobi serta berkasak kusuk untuk mempertahankan dan memperluas vested interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politics. Dan dalam konteks seperti itulah Muhammadiyah tidak akan ikut bermain politik praktis.
Realitas politik di Indonesia membawa
Muhammadiyah untuk ikut berkecimpung (urun rembug) dalam membicarakan masalah
suksesi 1998 yang digelar pada Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya pada
11-13 Desember 1993, suksesi kepemimpinan yang berarti penyegaran atau
pergantian unsur-unsur kepemimpinan nasional yang menyangkut presiden, wakil
presiden, para menteri kabinet, para anggota DPR dan MPR. Alasan yang
diungkapkan seperti yang dituturkan Amin Rais sebagai pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada saat itu, bahwa suksesi merupakan Sunnatullah atau proses alami. Selain
itu bangsa Indonesia sudah merdeka hampir setengah abad, tetapi sebagai bangsa
masyarakat Indonesia belum pernah punya pengalaman bagaimana cara memilih
presiden. Baik Bung Karno maupun Pak Harto menjadi presiden karena proses
sejarah, atau lebih tepatnya berkat aksiden sejarah. Muhammadiyah juga sebagai
orang tua yang usianya 33 tahun lebih tua dari republik Indonesia, maka tidak
salah kalau berbicara tentang perjalanan bangsa yang krusial seperti suksesi.
Bahkan hal itu dirasakan sebagai kewajiban morilnya.
Dalam
sidang tersebut Muhammadiyah mengajukan enam kriteria calon presiden: pertama,
harus sudah teruji kesetiaannya pada Pancasila dan UUD 1945; kedua, punya
integritas pribadi, tidak bermental korup dan dapat menjadi panutan; ketiga,
punya komitmen kerakyatan dalam arti selalu mengunggulkan kepentingan bangsa di
atas kepentingan golongan, partai, kelompok, keluargadan sebagainya; keempat,
punya visi masa depan yang ditandai dengan perkembangan iptek; kelima,
memperoleh akseptabilitas yang setinggi mungkin dalam masyarakat Indonesia yang
serba majemuk; keenam, punya jangkauan (reach-out) internasional berhubung
Indonesia tidak mungkin ber-autarki tanpa kerjasama dengan negara-negara lain.
BAB III
PENUTUP
3.1.Simpulan
Perkembangan dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal
abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagaian
besar negara yang penduduknya beraga Islam secara politik, sosial, ekonomi,
maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan
kolonialisme dan imperialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Secara
singkat lahirnya gerakan Muhammadiyah disebabkan dua faktor, yakni faktor
intern dan faktor ekstern. Faktor intern yaitu; pertama, kehidupan beragama
tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, karena merajalelanya perbuatan syirik,
bid’ah dan khurafat yang menyebabkan umat Islam menjadi beku; kedua, keadaan
bangsa Indonesia dan umat Islam yang hidup dalam kemiskinan, kebodohan,
kekolotan dan keunduran:; ketiga, tidak terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah
dan tidak adanya organisasi Islam yang kuat; keempat, lembaga pendidikan Islam
tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik, dan sistem pesantren yang sudah
sangat kuno. Sedangkan faktor ekstern terdiri dari: pertama, adanya penjajahan
Belanda di Indonesia:; kedua, kegiatan dan kemajuan yang dicapai oleh golongan
Kristen Katolik di Indonesia; ketiga, sikap sebagai intelektual Indonesia yang
memandang Islam sebagai agama yang telah ketinggalan zaman; keempat, adanya
rencana politik kristenisasi dari pemerintah Belanda, demi kepentingan politik
kolonialnya.
Di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai seorang yang peduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat Islam secara khusus. Pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/ 18 Nopember 1912 M di Yogyakarta ia mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi yang menghembuskan jiwa pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bergerak di berbagai bidang kehidupan umat.
Di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai seorang yang peduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat Islam secara khusus. Pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/ 18 Nopember 1912 M di Yogyakarta ia mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi yang menghembuskan jiwa pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bergerak di berbagai bidang kehidupan umat.
3.2.Saran
Dalam penyusunan makalah ini, diharapkan pembahasan di dalamnya dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca dan seluruh mahasiswa dalam menempuh mata
kuliah Al Islam 4. Perlulah memelajari materi wawasan pemikiran dan wawasan
dalam gerakan Muhammadiyah sebagai wawasan seorang muslim dan mencari hikmah
yang ada di dalam materi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://ahmadhatimi.blogspot.com/2013/12/makalah-wawasan-pemikiran-KH
Ahmad Dahlan.html. Diakses pada 23 november 2014
http://ruwakjawiazhar.blogspot.com/2011/02/pokok-pokok pemikiran dan
aktualisasi-dan.html. Diakses pada 22 november 2014
http://ahmadhatimi.blogspot.com/2013/12/makalah-sejarah-singkat-Muhammadiyah.html. Diakses pada 23 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar